Kamis, 14 Juli 2016

“YANG MANA JALAN PANCAWARGA III?” (Bagian II)

Catatan Kecil "Ustadz Kecil" Madani

Saya harus mengambil keputusan, seperti dulu ketika saya memutuskan untuk kuliah setelah lulus dari Madrasah Aliyah.

Dan pada akhirnya, saya bisa menikmati masa kuliah itu di mana "masa awal yang tanpa kesan dan diakhiri dengan ada kesan", mungkin itulah kata yang pantas saya katakan ketika mengingat masa itu.

Ya masa kuliah dulu, di mana masa saya bisa berteman dengan orang Jawa yang logat bicaranya “terasa banget", di mana saya berteman dengan orang dari Bima, Nusa Tenggara Barat, Kampar Riau, Palembang, dan tentunya orang-orang Jakarta dan sekitarnya.

Berteman dengan orang-orang yang daerah asalnya cukup jauh hal seperti itu merupakan pengalaman baru dalam kehidupan saya,  Sebab sebelumnya saya tidak pernah berteman dengan orang-orang  yang jaraknya jauh.

Waktu Sekolah Dasar saya sekolah di Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang muridnya hanya berasal dari berbagai kampung, tetapi masih satu Desa, ada juga yang berbeda Desa tapi tetapi masih satu kecamatan yaitu kecamatan Cijeruk.


Jadi kalau dulu sepulang sekolah saya mau main ke rumah teman itu hal yang sangat gampang sekali, karena memang jaraknya yang dekat dan juga masih terjangkau dengan hanya berjalan kaki saja.

Dan semasa sekolah saya dulu tidak ada murid yang naik kendaraan, hampir semua murid di sekolah itu berjalan kaki untuk mencapai ke sekolah, di antara 30 siswa dalam satu kelas waktu itu hampir semuanya berjalan kaki.

Jadi tidak ada ceritanya uang untuk ongkos atau uang untuk beli bensin, yang ada hanya uang buat jajan, itupun nilainya jika dibandingkan sekarang sangat kecil sekali, yaitu Rp. 100 atau Rp. 200 yang hanya cukup buat beli cilok atau jajanan ciki-cikian.

Selain tidak ada yang naik kendaran seperti angkot, tidak ada juga murid yang ke sekolah naik sepeda. Alasan tidak ada yang pakai sepeda di antaranya mungkin karena daerah kami kondisi jalanannya naik dan turun, jadi kurang cocok untuk naik sepeda.

Banyak tanjakan yang cukup tinggi dan ada juga melewati persawahan yang jalanannya masih belum ditembok apalagi diaspal. Jadi, sangat tidak mungkin untuk pake sepeda. Ditambah kalau musim hujan datang, akan terasa sekali “ledoknya”.

Biasanya dulu kalau musim hujan kita sangat susah untuk menghindari sepatu kita untuk tidak kotor, karena banyak rumput-rumput di jalan yang kotor dan genangan-genangan air hujan. Jadi, sepatu kita pasti terkena basah dan kotor ketika sampai ke sekolah.

Dulu, biasanya untuk menghindari sepatu kotor, kami memakai kantong plastik. Sepatu dibungkus dengan kantong plastik. Terkadang lucu juga kalau diinagat-ingat, sebab sepatu sebagus apapun tidak akan kelihatan karena terbungkus dengan kantong plastik.

Ada yang plastik warna hitam, putih, atau warna lainnya. Sesampainya di jalan besar yang sudah tidak becek lagi baru plastik itu kami lepas. Kondisi sepatu masih bersih karena dilindungi kantong plastik itu.

Sekolah Dasar saya adalah yang paling keren menurut saya. Di sekitar sekolah kami banyak sekali pohon-pohon, apalagi pohon pala, sehingga saya hafal banget dengan rasa buah pala ini. Mulai rasa buah pala yang muda, sedikit tua, sampai pala yang sudah tua yang sudah terbelah dan warnanya sudah kecoklatan.

Selain itu, baju seragam kamipun banyak yang ada bekas getah palanya, sebab ketika kita memakan buah pala yang rasanya asam itu dan getahnya kena baju kita, maka ikhlaskanlah untuk getah itu nempel di seragam selamanya.

Kepanjangan ah...

Bersambung….

(Harid Isnaini)

“Yang Mana Jalan Pancawarga III?” (Bagian I): http://madanionline.org/mana-jalan-pancawarga-iii-bagian-i/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar